October 11, 2008

INSOMNIA DAN SECANGKIR TEH

Jangan lupa, kau pernah menuliskan sepetak lubang yang digenangi bah di jalan depan, tepat di saat aku ingin berhenti menghitung partikel-partikel udara. Kemudian, kau juga langsung menimpali dengan menenggelamkan burung hantu pada kelangkang laut yang ada di bawah gubuk reot di bawah pohon yang tak lagi didauni matahari dan napas.


Tapi, bahwa aku sudah tidak lagi memiliki peri-peri yang senantiasa bersemayam dalam bantal dan guling di atas bongkahan kapuk itu, adalah kejujuran seorang penyebar berita atau penceramah. “Aku tidak percaya!”, begitu katamu. “Aku mencium bau bangkai di atas altar persembahan dan tempat mereka menyampaikan berita”.


Aku mengerti bahwa yang kau maksud adalah kambing-kambing penggembala yang dibiarkan menjadi liar di padang yang penuh dengan ranjau-ranjau serupa apel yang nyala merah. Lalu, aku juga paham tentang kuda yang berlarian meneriakan rasa bebas tak lagi bahwa bahwa pancang rantai itu selalu ada di kaki-kakinya, “dia tidak pernah berkenalan dengan merdeka atau yang dibilang pengembala, penyelamat, penununtun atau apalah itu namanya…”


Hujan tiga hari lalu juga tak akam mampu menumbuhkan sekam yang kutaman di atas kepala boneka bersayap, begitu katamu. Aku segera pergi sembari menari dan meninggalkan aku dengan teh dalam cangkir berwarna legam, “Aku tidak akan pernah tidur hingga aku bertemu denganmu kembali…”



Gresik, 10 October 2008, 9:53:23 PM